Senin, 28 Oktober 2013

Mana Sumpah Kita, Wahai Pemuda?

Delapan puluh lima tahun lalu beberapa orang dari seluruh Indonesia mengikrarkan sebuah janji demi persatuan. Ikrar ini sangat bermakna tatkala penjajahan dari kolonial Belanda dan ketakutan akan munculnya Peran Dunia I masih menyelimuti rakyat Indonesia saat itu. Jikalau aku bertanya pada mereka yang sepuh di rumah, mungkin mereka masih belum mengenal bahwa sebenarnya kita sudah berada dalam wadah Indonesia sejak beberapa ratus tahun yang lalu.



Ya, sebenarnya saat itu kita hanya belum paham. Belum paham bahwa kita sebenarnya satu bangsa dan dilahirkan secara sama di bumi pertiwi. Ketidakpahaman ini akhirnya merembet ke kurangnya rasa persatuan di antara insan nusantara, di saat itu. Begitu besarnya makna acara delapan puluh lima tahun yang lalu itu, sehingga menyadarkan banyak orang di Indonesia untuk bersatu melawan penjajahan dan kolonialisme.



Ikrar sekaligus sumpah ini kemudian menjadi tonggak perjuangan diplomatis para pemuda Indonesia di saat itu. Ikrar yang menanggalkan kesukubangsaan, kedaerahan, keagamaan, dan perbedaaan atas dasar satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Ikrar terasa semakin lengkap dengan peluncuran lagu Indonesia Raya yang kemudian ditetapkan sebagai lagu nasional bangsa ini.



Delapan puluh lima tahun telah berlalu, dan kondisi pemuda Indonesia yang sekarang sudah sangat jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh pemuda Indonesia pada masa-masa ikrar tersebut dikumandangkan. Akan tetapi, beberapa pemuda mulai melupakan sumpah yang disampaikan pendahulu mereka delapan puluh lima tahun yang lalu. Hal ini mengingatkan kita pada kalimat bijak Bung Karno yaitu "Musuh terbesar kalian ketika sudah merdeka bukan pada penjajah lagi, melainkan dari diri kalian sendiri".



Tengok saja apa yang terjadi dari wujud ikrar pemuda tersebut di masa kini. Kesadaran terhadap berbahasa Indonesia dan mengagungkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan semakin hilang. Bahasa Indonesia menjadi ditinggalkan ketika tidak ada lagi perusahaan yang mensyaratkan kemampuan berbahasa Indonesia sebagai prasyarat untuk masuk mendapatkan pekerjaan. Bahasa Indonesia seperti kehilangan bargaining position (posisi tawar)nya di mata pemuda Indonesia. Hal ini tentu saja dikarenakan makin menjamurnya perusahaan asing yang berinvestasi di bumi pertiwi.



Banyaknya perusahaan asing yang beradu mengeksploitasi sumber daya alam bumi nusantara menunjukkan hilangnya rasa kemandirian pemuda masa kini. Sudah jarang ada pemuda yang berani berkompetisi dengan berwirausaha dan bersaing dengan perusahaan asing. Hal ini menandakan hilang ingatannya pemuda pada sumpah untuk mencintai tanah airnya. Mereka yang mencintai tanah airnya sudah tentu akan sulit mengizinkan orang lain untuk mengeksploitasi tanah airnya dengan semena-mena.



Terakhir adalah ikrar pemuda untuk berbangsa satu, bangsa Indonesia. Sangat ironis mendengar sumpah itu dikumandangkan kembali, sementara masih banyak terjadi pertikaian antar-pemuda di negeri ini. Tengok saja beberapa kasus terakhir seperti bentrok antar ormas di Bali, tawuran antar pelajar, hingga aksi brutal geng motor. Tidakkah mereka ingat betapa susahnya pendahulu mereka mempersatukan para pemuda nusantara? Lupakah mereka bagaimana pemuda bersatu melawan imperialisme para penjajah selama beratus-ratus tahun?



Oleh karena itu, dalam Sumpah Pemuda hari ini, artikel ini mencoba untuk mengajak para pemuda untuk bersatu kembali dalam perbedaan yang ada, di bawah tiga ikrar suci yang disampaikan 85 tahun lalu. Mari kita semua berintrospeksi diri, masih ingatkah kita para ikrar yang disampaikan pada momen Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928? Kemudian menghadaplah ke cermin sembari berujar "Mana Sumpah Kita, wahai Pemuda?"